Rabu, 06 Juli 2011

Ibadah Haji, Diantara Kemauan dan Kemampuan

Oleh Achmad Ruhiyat

Apa yang akan dipertunjukkan kepada kita ketika berada di alam kubur. Neraka atau Surga. Satu di antara dua tempat itulah yang akan dipertunjukkan kepada kita, seraya dikatakan, “Inilah tempat diam engkau dan nanti engkau akan dikirim ke situ”. Begitulah Rasulullah saw. menggambarkan situasi yang akan terjadi ketika seseorang telah berada di alam kubur.
Situasi yang mencekam ditambah penderitaan yang mengerikan dengan penyesalan yang tiada guna apabila yang dipertunjukkan sebagai tempat diam kita di akhirat kelak adalah neraka. Apa yang dapat kita perbuat? Pasti kita akan meminta untuk dibangkitkan kembali. Dan jawaban yang akan kita terima dari Allah swt. adalah tidak, “…Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja”. (QS. Al-Mukmin: 100).
Situasi yang mencekam lagi mengerikan ini sebenarnya tidak akan menimpa kita, apabila sebelum ajal menjemput, memiliki kemauan untuk masuk surga. Bukankah Rasulullah saw. pernah mengatakan, “Setiap orang bakal masuk surga, kecuali yang tidak mau”.
Ada banyak kunci, apabila kita mau, yang dapat ditemukan dalam kehidupan ini. Salah satu diantaranya adalah dengan menunaikan ibadah haji. Karena balasan bagi orang yang dapat menunaikan ibadah haji dan hajinya itu mabrur adalah surga. Kata Rasulullah saw, “…… Haji yang mabrur itu balasannya tidak lain dari pada surga”. (HR. Muttafaq’alaih). Pada sabda Rasul ini terdapat kata Laisa Li (tidak, yang bergandeng secara bersamaan). Dalam ilmu bahasa disebut dengan Adatul Hasyri atau pembatas. Yang berarti, haji yang mabrur tidak ada penghalang baginya untuk masuk surga. Bahkan apabila ada seseorang jamaah haji yang meninggal di Arafah, hendaknya ia dikuburkan dengan kain ihram yang dipakainya. Kelak di hari akhir, kata Rasulullah saw, “Dia akan dibangkitkan, dengan pakaian hajinya, dia akan bangun seraya mengucapkan: labbaik, allahumma labbaik agar dikiranya ia masih berada di Arafah”.
Allah berfirman, “…… Menunaikan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang mampu mengadakan perjalanan menuju Baitullah. Dan barang siapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak membutuhkan sesuatu) dari semesta alam” (QS. Ali Imran: 97). Dalam ayat ini dijelaskan bahwa kewajiban haji hanya diperuntukkan bagi orang yang mampu. Mampu yang dimaksud dalam ayat ini memakai kata Istathaa’a yang artinya kemampuan maksimal. Dan kemampuan maksimal bukanlah suatu keadaan atau hasil yang datang begitu saja, ia sangat tergantung dari sejauh mana proses usaha atau kerja yang kita lakukan. Karena itu, kewajiban untuk menunaikan ibadah haji sebenarnya tidak hanya dibebankan kepada setiap muslim yang sudah memiliki kemampuan, juga dibebankan kepada setiap muslim yang sampai saat ini belum memiliki kemampuan.
Bagi setiap muslim yang sudah memiliki kemampuan, tidak ada alasan baginya untuk menunda-nunda ibadah haji. Diriwayatkan dari Ali bahwa ia berkata: “Barang siapa berkemampuan menunaikan haji lalu ia tidak menunaikannya, maka terserah baginya memilih mati dalam keadaan beragama Yahudi atau Nasrani”. Dalam sebuah hadist, Nabi Muhammad saw bersabda, “Cepatlah-cepatlah kalian menunaikan haji yakni wajib haji karena sesungguhnya seseorang di antara kamu tidak tahu apa yang akan terjadi padanya”.
Sedangkan bagi setiap muslim yang sampai saat ini belum memiliki kemampuan, kewajiban haji baginya tidak terhapus begitu saja dengan alasan tidak mampu. Ia mempunyai beban untuk bisa menunaikan ibadah haji. Karena Istathaa’a sebagai syarat kewajiban haji, itu sangat tergantung dari sejauh mana proses usaha atau kerja yang dilakukannya untuk mencapai kemampuan maksimal. Dengan kata lain, alasan tidak dapat menunaikan ibadah haji dikarenakan tidak mampu sebelum melakukan usaha secara terus menerus, terencana, dan berkesinambungan sampai ajal menjemput untuk mencapai kemampuan maksimal merupakan alasan yang tidak mencukupi.
Shakespears, seorang yang pernah mengatakan apalah arti sebuah nama, pernah berujar begini, “Niat yang mulia saja tanpa dibarengi dengan kerja keras adalah celaka”. Setiap kita, barangkali mempunyai niatan yang mulia untuk dapat menunaikan ibadah haji, tapi dikarenakan tidak mampu maka niatan itu urung untuk dilakukan. Melalui petuah Shakshepers ini kita dapat berkaca bahwa niatan mulia untuk dapat menunaikan ibadah haji harus dibarengi dengan peningkatan etos kerja, agar taraf kehidupan atau pendapatan kita meningkat menuju kemampuan maksimal. Juga harus dibarengi dengan kemampuan untuk merencanakan dan mengatur keuangan kita dengan bisa membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Sehingga penghasilan yang telah diperoleh dapat disisihkan dengan jalan menabung.
Ada sebuah petuah, “Lari-lari dulu, zam-zam kemudian”. Petuah ini keluar dari mulut seorang karyawan swasta yang berkemauan keras untuk dapat menunaikan ibadah haji. Sudah bertahun-tahun ia menyisihkan penghasilannya dengan jalan menabung, akan tetapi selalu saja uang simpanannya itu terganggu oleh kebutuhan yang mendesak menyangkut keluarganya. Dan ia berkeluh, “Kapan saya bisa menunaikan ibadah haji”. Ia tidak patah arang. Penghasilannya tetap ia sisihkan. Suatu hari, ketika membereskan lemari buku, ia menemukan surat semacam chek dari perusahaannya tempat ia dulu bekerja. Ia menghubungi kembali perusahaan tersebut, dan ternyata surat semacam chek itu dapat dicairkan dengan sejumlah uang yang cukup untuk bisa pergi ke tanah suci bersama istrinya. Begitulah Allah swt. memberikan kemudahan kepada setiap orang yang mempunyai kemauan keras untuk dapat menunaikan ibadah haji dengan jalan yang tak disangka-sangka.
Kemauan menjadi syarat utama dalam menunaikan ibadah haji. Tanpa kemauan walaupun mampu, ibadah haji belum tentu terlaksana. Sebaliknya dengan kemauan walaupun saat ini belum mampu, insya Allah suatu waktu ibadah haji dapat terlaksana. Islam tidak mengajarkan apa yang dikatakan dalam ungkapan, suargo nunut neroko katut (ke surga numpang ke neraka ikut). Orang masuk surga adalah karena kemauannya sendiri. Dan orang masuk neraka juga karena kesalahannya sendiri.
Wallahu’alam Bishawab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar